Jumat, 08 Februari 2019

Cerpen, Sebatas Cerita Pendakian

Rini Natasha Putri, yang biasa dipanggil Rini. Ia seorang gadis aktivis yang sangat suka dengan hal-hal baru dan ia juga sangat suka dengan tantangan. Saat ini ia duduk dibangku kelas XII. Johan Prasetyo yang akrab dipanggil Jo teman satu sekolah dengan Rini, ia mempunyai hobi mendaki, ia sudah banyak mendaki gunung-gunung di Indonesia. Bahkan sudah banyak komunitas-komunitas yang ia ikuti.

Di sekolah Johan termasuk anak famous alias anak terkenal di sekolah. Bahkan para guru sangat mengenalinya, bukan terkenal karena kenakalannya, tetapi ia cukup berprestasi dalam bidang jurnalistik dan mempunyai vokal yang bagus. Banyak anak-anak khususnya para cewek-cewek yang ngefans banget dengan ketampanan dan suaranya yang bagus.

Setiap hari rabu, Rini rutin latihan les karate, namun kali ini ia melihat Dhika si anak famous itu mengiktui les karate juga. Rini samasekali tidak peduli dengan anak famous itu. Di hari berikutnya, karena Jo tahu Rini adalah teman sekolahnya ia mengajak Rini untuk latihan bareng di luar jam les dengan alasan Rini sudah cukup jago dibandingkan ia sendiri yang baru bergabung.  Tidak lama, mereka mulai akrab dan mengobrol tentang keseharian mereka. Jo mulai menilai, bahwa Rini berbeda dengan teman cewek-cewek lainnya di sekolah. Rini berbeda karena ia sangat terlihat manis dan kharismatik.
Sudah menjadi hobi, Jo berencana untuk mendaki gunung, kali ini ia berniat untuk mengajak Rini. Di awal bulan desember Jo mengajak Rini untuk mendaki gunung tertinggi Jawa Barat. Bagaimana tidak, Rini sudah lama menginginkan mendaki gunung tetapi belum ada teman dan waktu yang tepat. Mereka setuju akan melakukan pendakian di hari liburan sekolah dan tahun baru. Jo mengajak 3 teman akrabnya, dan ia juga menyuruh Rini untuk mengajak teman ceweknya.
Satu minggu sebelum mendaki, mereka berkumpul disebuah cafe untuk membicarakan tentang persiapan dan perlengkapan  untuk mendaki. Semuanya sepakat untuk berangkat tanggal 30 desember dan berkumpul di depan sekolah pukul 9 pagi.
((Rini pov))
Sudah gak sabar nih buat mendaki, aku akan menyiapkan semua peralatannya dari sekarang. Walaupun aku belum lama mengenal Jo aku yakin padanya karena dia sudah handal dan berpengalaman dalam mendaki gunung.
Tringgg...
Bunyi notifikasi dari ponsel Rini.
"Bagi peserta yang lolos seleksi Bimbingan Latihan masuk IPDN harap berkumpul hari sabtu pukul 7.00"
"Kenapa harus hari sabtu sih!" batin Rini saat mempersiapkan semua peralatan mendaki.
tok..tok..tok..
"Riniii.. ini ada Dwi" ucap seorang paruh baya dari luar kamar Rini.
"Iya mah, buka aja pintunya gak dikunci" teriak Rini yang masih duduk kebingungan karena notifikasi di ponsel   nya itu.
kreekk..
"Ya ampun Rini! kamar lo udah kayak kapal pecah" ucap Dwi sambil melihat-lihat semua kondisi kamar.
"Duhh... kenapa hari sabtu segala coba!!" ketus Rini yang masih sibuk dengan ponselnya itu.
"Memangnya kenapa? Kita udah fiks berangkat sabtu kan?" tanya Dwi sambil membantingkan badan dikasur.
"Iyaaa..... Tapi ini ada notif dari panitia bimlat buat kumpul hari sabtu jam 7" ucap Rini sambil melanjutkan mengemas peralatan mendaki.
"Emang harus banget yak? gaboleh ditinggal aja gitu?" tanya Dwi sambil mendekat ke Rini.
"Iyalah, ini menyangkut masa depanku" ucap Rini meyakinkan Dwi.
Krekk...
" mamah buatkan kalian jus alpukat nihh…" ucap mamah Rini seperti seorang pramu saji di restaurant.
"ya ampun tante baik banget deh, tau aja Dwi lagi pengen jus nih hihihii... Makasih loh tante jadi repotin" ucap Dwi sambil menerima jus dari tangan mamah Rini.
"iya sama-sama sayang" ucap mamah Rini  pada Dwi teman baik Rini dari kecil.
"Kayaknya aku agak terlambat deh.." ucap Rini dengan pasrah karna waktu yang sangat bentrok.
"Yaudah gak papa. Kamu udah bilang ke temenmu itu??" ucap Dwi mengiyakan.
"Jo?? Ohiya aku mau bilang dari sekarang" ucap Rini sambil mengambil ponsel yang tertumpuk-tumpuk tas dan buku-buku.
Rini     Jo...
Johan : iya, kenapa rin?
Rini     : Jo, maaf ya. kayaknya nanti hari sabtu aku agak telat, soalnya ada kumpulan bimlat jam 7
Johan : Ohh iyaiya gakpapa. Santai aja
Rini pun segera membereskan perlengkapan dan membersihkan kamarnya yang sedaritadi sangat berantakan.
((Sabtu pagi))
"Maah pahh... Rini berangkat..." teriak Rini sambil berlari-lari kecil dari kamarnya.
"Lohh.. Kok pagi-pagi sekali sayang?" tanya mamah Rini dengan heran.
"Rini mau ada kumpulan bimlat dulu sebelum mendaki" ucap Rini terkekeh ngos-ngosan.
"Mau papah anter gak?" tanya papah Rini yang melihat Rini kerepotan membawa peralatan mendaki.
"Enggak.. Engak usah pah.. Rini sendiri aja, Rini pamit  ya pah mah" ucap Rini sambil mencium tangan orangtuanya.
"Ya ampun nak.. Yaudah kamu hati-hati dijalan ya" ucap mamah Rini sambil kebingungan sendiri melihat anaknya yang terburu-buru.
Rini hanya tersenyum dan bergegas pergi.
((Author pov))
Sejak pukul 8.00 Jo dan teman-temannya sudah berkumpul didepan sekolah, Dwi teman Rini pun sudah sampai disekolah bersama Jo dan teman-temannya. Mereka tau kalau Rini sedang ada kumpulan mungkin Rini akan telat satu jam. Setelah 2 jam menunggu Rini belum juga datang, Dwi pun menghubungi Rini namun tidak diangkat. Semuanya cemas karna sampai dua jam menunggu belum juga ada kabar dari Rini.
Didit, Rihan dan Adi sudah menghabiskan sekantong makanan karna terlalu lama menunggu kedatangan Rini.
"Rini oh Rini.. Kemanakah dirimu..." ucap Didit sambil menyanyikannya.
"Suaramu bikin mules tau gak!" ucap Adi sambil melempar kulit kacang ke wajah Didit.
"Yaa habis Rini lama banget sih, keburu siang nihh... Jo! gimana ini, belum perjalanan ke basecamp kita sekitar 2 jam" cerocos Didit sambil terus mengunyah makanan dimulutnya.
"Sabar sabar... sebentar lagi juga dateng" ucap Jo menenangkan keadaan.
"Etdah ahhhh, dari satu jam yang lalu lo bilang begitu melulu" jawab Didit yang terus-terusan nyerocos gak jelas.
"Iya Jo, kita belum membeli logistik nihh" ucap Adi dengan gaya dewasanya.
"Hmmm... Yaudah gimana kalo kalian duluan aja dan belanja logistik dipasar dekat basecamp, biar aku yang nunggu Rini" ucap Jo mengklarifikasi.
"Nahhh... Yuu ah oteweee hehe" ucap Didit sambil mengambil ranselnya.
"Bener yaa kamu tungguin Rini, jangan sampe Rini gak jadi ikut.. Nanti aku sama siapa" ucap Dwi mengkhawatirkan.
"Ehhh ehhh neng Dwi..., tenang aje ada a'Didit disini" ucap Didit sambil menyenggol Dwi yang dari tadi disampingnya.
"hihhh... Didit!!" ucap Dwi sambil mengepal tangan ingin memukul Didit.
"Iyaiyaaa ihh cantik-cantik galak mamat dahhh hahahaa" ucap Didit yang terus merayu Dwi.
"Yasudah.. kita duluan aja ya Jo, biar kamu sama Rini nanti kita ketemu di basecamp" ucap Rihan sambil mengambil ransel dan mengajak teman-teman untuk segera berangkat.
((Rini pov))
Haduhh... Ini lama banget, aku sudah telat 2 jam. Mereka semua pasti sudah menungguku.
Tring...tring...tring..
17 pesan dan 11 panggilan tak terjawab.
Rini     : Jo maaf ya. Ini masih nunggu informasi dari panitia
Johan : Iya gakpapa. Santai aja.
Jo selalu jawab begini. Aku tetap merasa gak enak dengan mereka
Terutama Dwi, dia sudah ada di sekolah dari jam 7.30. Sedangkan aku sudah telat hampir 3 jam.
Setelah satu jam menunggu akhirnya Rini datang dengan terburu-buru dan mengambil tas nya di kelas.
"Jo.. anak-anak yang lain kemana?" tanya Rini kebingungan.
"Ohh mereka sudah pergi dulu, karna belum membeli logistik, aku suruh mereka duluan aja" jawab Johan dengan santai.
"Maaf ya Jo, sudah buat kalian menunggu" ucap Rini merasa sangat bersalah.
"Gakpapa kok rin. Santai aja.. Ayok berangkat mereka pasti udah nunggu di basecamp" jawab Dhika sambil menyalakan motornya untuk segera berangkat.
((Author pov))
Meski hujan sudah mulai reda, tapi masih saja rintik-rintiknya yang cukup untuk membasahi sekujur badan. Mereka memutuskan untuk segera bergegas dan mengenakan jas hujan. Sebelum pemberangkatan pendakian, semuanya melakukan doa bersama.
Perjalanan menuju pos-1 memang lumayan jauh. Sesempat mungkin mereka beristirahat sejenak, karna kebanyakan dari mereka adalah pemula. Setiba di pos, mereka beristirahat disebuah gubuk kecil dan ada pendaki lainnya. Sesekali Rini menatap langit yang masih mendung dan sangat menikmati dinginnya suasana perbukitan ditemani burung camar yang berterbangan bebas kesana-kemari. Juga semilir angin menyapa lembut membawa potongan daun kering dari atas pepohonan. Juga daun-daun kecil yang jatuh dikepala Rini. Rini hendak mengambil botol minum disamping tas ransel yang masih digendongnya itu. Dengan kesusahan tiba-tiba ada yang meraih tangannya hingga membuat Rini terkejut.
"Biar aku ambilkan!" Ucap Jo sambil meraih tangan Rini dan mengambilkan botol air minum itu.
"Oh iya! Terimakasih" Ucap Rini dan meraih botol air minum dari tangan Jo tanpa melihat wajah johan sekalipun.
Johan hanya melihat Rini yang sedang asyik meminum air yang hampir habis setengah botol itu.
"Capek ya?" Tanya Jo menatap tajam kearah Rini.
Rini hanya menggelengkan kepala sambil menutup tutup botol air minumnya.
"Lepas saja dulu ranselmu, kita masih lama beristirahat disini" Ucap Jo sambil meraih ransel Rini yang masih digendongnya.
"Harusnya kita nggak usah berlama-lama disini, biar kita bisa mengejar waktu" jawab Rini dengan wajah ketus sambil melepaskan ranselnya.
Rini membuang pandangannya ke arah jalur pendakian dan melihat pendaki lain yang melintas.
"Kasihan yang lain.. mereka masih kelelahan. Kamu juga jangan terlalu memaksakan untuk cepat sampai puncak". ucap Jo seolah menasehati Rini sambil mengacak-acak rambut Rini yang setengah basah karena rintikan hujan.
Setelah 30 menit beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan. Rintik-rintik gerimis masih mengiringi sepanjang perjalanan. Menyambut sore dengan gelapnya belantara dengan harum bau pohon pinus yang basah karena hujan. Keringat pun bercucuran , tapi tidak mengurangi semangat Rini untuk menempuh perjalanan. Ditengah perjalanan, semuanya istirahat sejenak sambil meminum air bekal yang dibawa.
Karena gerah Rini melepaskan jas hujan yang dikenakannya.
"Gerah ya?? Yaa lepas aja jasnya" ucap Jo dengan lagak sok perhatian sambil membantu melepaskan jas hujan Rini.
"Hoh, Emang mau aku lepas!" Jawab Rini singkat.
Dengan segala bentuk perhatian-perhatian kecil yang diberikan jo, meambuat Rini sejenak memikirkan sesuatu.
"kenapa Jo begitu perhatian padaku.. ahh!! Mingkin ini perasaanku saja" Gumam Rini dalam hati.
Dan hanya memikirkan betapa indahnya berada dipuncak nanti.
Rini memang sudah biasa mendapat perhatian-perhatian seperti seorang kekasih dari teman-temannya. Namun Rini hanya perhatian balik kepada teman organisasi disekolah nya saja.
Mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalanan Jo selalu berjalan di belakang Rini. Sambil bernyanyi di sepanjang perjalanan dan memotret pemandangan, sesekali Jo memotret wajah manis Rini secara diam-diam. Jo selalu berhasil mengabadikan wajah Rini yang tersenyum bahagia, jarang-jarang seorang Rini bisa tersenyum lebar seperti ini.
Jo merasa sangat senang melihat Rini bisa tersenyum bahagia berada disini, awalnya ia memang hanya iseng-iseng mengajak Rini untuk mendaki bersama. Tetapi disini, di alam yang meneduhkan ini mampu untuk membukakan kembali hati Jo yang telah lama terkunci. Perjalanan terasa sangat menyenangkan, terasa tak ada kata lelah untuk melakukan pendakian ini. Perjalanan melewati beberapa pos sudah dilalui begitu saja. Setelah sampai di pos terakhir untuk membuka tenda akhirnya mereka beristirahat.
"kenapa kita buka tenda disini?" tanya Rini keheranan.
"disini pos terakhir untuk membuka tenda, memang kamu mau buka tenda di pucuk?" jawab Johan santai sambil mengacak-acak rambut Rini.
"hiiihhhh.... Jo!! kan aku gak tauuu" ucap Rini sambil merapihkan kembali rambutnya.
"dari awal nih anak berdua berantem mulu dah" ujar Didit sambil membuka tutup botol minum.
"siapa juga yang berantem,,," jawab Rini membantah.
"sok tahu kamu Dit, siapa juga yang berantem. Iya gak Rin" cerocos Jo sambil merangkul Rini dengan tanpa merasa berdosa.
Rini langsung refleks menarik tangan Johan dan menariknya ke belakang badan Johan, dengan gaya karatenya.
"aduhhh.. aduhhh... ampunn!!" rengek Johan menahan kesakitan.
"salah sendiriii..." jawab Rini masih memegangi tangannya.
"ha ha ha haaa... makanya ati-ati kamu Jo sama pendekar" ujar Didit sambil tertawa puas.
Rini pun melepaskan tangannya lalu segera duduk untuk beristirahat. Sedangkan Johan masih menahan kesakitan.
"wkwk makanya kamu jangan sembarangan sama Rini.. Iya gak Rin" ucap Dwi sambil tertawa meledek Jo yang masih merasa kesakitan.
Mereka semua tertawa dan bersiap-siap untuk membangun tenda, membuat api unggun dan menyiapkan beberapa makanan untuk sekedar cemilan. Mereka diingatkan oleh Kang Adi, pendaki dari Bandung itu untuk beristirahat cukup, karena esok hari harus akan melakukan Summit pada jam 3 pagi.
Rini sangat tidak sabar untuk segera sampai di puncak gunung, ini adalah impiannya sejak lama.
((Rini pov))
Hari kian larut malam, gigilnya kabut kian menjadi-jadi. Aku merasa sangat senang, bisa berpetualangan bersama teman-temanku. Kelak dingin ini yang akan membuatku rindu akan hutan belantara. Aku masih duduk dengan mantel tebal dan kupluk kesayanganku ini, yang mampu untuk menghangatkan tubuhku.
Sambil memandang ke arah teman-temanku yang sedaritadi menghangatkan tubuhnya dengan api unggun, dan melihat Jo membuat makanan untuk makan malam. Dia terlihat dewasa, pintar, berbeda dengan cowok kebanyakan. Nyala api unggun semburat di wajahnya, gemerlap bintang pun tak kalah untuk berusaha bersinar di wajahnya, senyumnya terlihat begitu manis. Tak kalah dengan manisnya lengkung bulan sabit dilangit. Aahhhh! Kenapa aku ini!
Aku masih ingin menikmati malam seperti ini lebih lama lagi. Meskipun kadang kala semilir angin terlalu menusuk, memaksaku untuk tidak lama berada disini. Aku sibuk memandang langit, dengan sesekali memandang indahnya senyuman, entah itu senyuman dari bulan sabit ataupun senyuman manis Jo. Aku larut dalam keindahan ciptaan Tuhan, aku memejamkan mata sambil bernafas panjang. Aku merasakan sesuatu yang sangat nyaman disini, namun lagi-lagi angin mencabikku sesukanya.
Rini….
Aku mendengar suara yang menenangkan, bukan suara semilir angina maupun jangkrik. Jo! Iyaa itu suara Jo. Aku membuka mataku dan berbalik badan.
“Rini… sedang apa sendirian?” tanya Jo keheranan.
“akuu hanya sedang menikmati indahnya alam ini” jawabku terbata-bata.
Jo hanya tertawa kecil, lalu mendekatiku.
“kenapa kamu menertawakanku?’ tanyaku menegaskan.
“hehee.. gakpapa, malam ini kan gelap, pemandangan apa yang bisa kamu lihat” jawab Jo yang lagi-lagi sambil tertawa.
“langit” jawabku. “dan indahnya senyum kamu dibawah sinar rembulan” gumamku dalam hati.
Jo langsung melihat ke arah langit, dan melihat-lihat gemerlap bintang dan bulan.
“iya, langit yang sangat indah. Tapi dingin sekali malam ini” jawab Jo meyakinkan.
Aku hanya mengangguk sambil menggosok-gosokkan telapak tanganku. Memang dingin, tetap aku masih ingin menikmati gemerlap bintang dilangit.
“dingin ya?” tanya Jo padaku, dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
Tiba-tiba Jo meraih tanganku dan meniup-niupnya agar tidak terlalu dingin, aku agak menarik tanganku, tetapi Jo tetap menahan tanganku agar tidak kedinginan lagi.
“tanganmu dingin sekali” ujar Jo sambil terus meniup-niupkan tanganku.
Sekarang aku melihat jelas lekung bulan sabit itu, maksudku senyumnya yang tak kalah indah dengan bulan sabit di atas sana. Aku hanya tersenyum dan tertawa kecil. Lalu Jo melihat ke arahku dan juga tersenyum, Jo mendekat ke arahku sangat dekat dan menatapku begitu tajam, lalu perlahan ia mencium bibirku dengan hangatnya. Aku terkejut, terdiam dan terbujur kaku, lalu aku mendorong tubuhnya sambil sedikit berteriak. Jo!!!
“sorry!” ucap Jo kebingungan lalu manarik tanganku untuk segera bergabung dengan teman-teman yang lain.
Aku mencium harum masakan yang sangat enak. Persiapan makan malam hampir jadi dibantu oleh Kang Adi, si koki gunung yang sangat pandai memasak. Oh iya! Ditengah perjalanan tadi kami bertemu dengan team dari bandung. Meskipun kali pertama bertemu dengan Kang Adi pendaki dari Bandung itu, ia sudah banyak membantu team kami dalam melakukan banyak hal. Seperti membantu mendirikan tenda sekarang ini, memberi tahu waktu yang pas untuk pemberangkatan dan sekarang ia juga buatkan kita makanan.
Setelah masakan sudah matang, akhirnyaaaaa... makan-makan..!!!
semuanya makan bersama dengan menggunakan wadah kertas nasi yang dicampur jadi satu. Setelah makan, anak-anak ada yang langsung tidur, ngobrol-ngobrol dan lainnya. Sementara aku masih setia dengan api unggun yang menyala terang itu, nyala api yang menjadi satu-satunya sumber penerangan dan sumber penghangat tubuhku. Sambil menikmati gigilnya malam dan sesekali aku melihat langit yang sama sekali tak berbintang itu. Disini, aku benar-benar merasakan kesunyian yang menenangkan. Suara riuh angin dan krik..krik... jangkrik menjadi satu menemani kesunyian itu.
"Dingin ya" terlintas pertanyaan itu yang selalu Johan tanyakan padaku ketika aku hanya terdiam.
Meski dinginnya malam ini, aku merasakan hangatnya perhatian dari Jo.  Aku merasakan kenyamanan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku tak pernah menyangka bahwa rasa ini mulai tumbuh untuknya. Aku takut, ini hanya perasaanku saja. Aku takut, rasa ini akan merubah sikapku yang malah membuatnya merasa tidak nyaman.
Kok belum tidur? Dingin ya???" Tanya Jo yang tiba-tiba datang dan lagi-lagi mengagetkanku, dengan mengenakan jacket tebalnya  lalu duduk disampingku.
Lagi-lagi pertanyaan itu yang Jo tanyakan.
"Hah.. iya belum, aku belum ngantuk" jawabku dengan nada terkekeh.

((Author pov))
Jo menatap tajam wajah Rini yang sedang menggosok-gosokkan tangannya karena udara yang semakin dingin. Lalu, Jo melepaskan jacketnya itu dan mengenakannya ke tubuh Rini, meskipun Rini sudah mengenakan mantel dan kupluk biru kesayangannya. Jo bisa merasakan sangat dinginnya malam itu.
"Eehhh... apaaa ini??" Tanya Rini yang sempat terkaget karena jacket yang dipakaikan Jo ke tubuhnya itu.
"Pakai saja.. Malam ini sangat dingin. Mungkin dingin ini yang buatmu tak bisa tidur" jawab Jo dengan wajah yang dipenuhi rasa khawatir.
Tidak bisa dibohongi, malam ini memang begitu dingin. Rini memakai jacket yang diberikan Jo dan membantunya untuk mengenakannya.
Malam semakin larut, semilir angin dan kabut lembut pun datang menggigilkan malam ini. Bahkan nyala api unggun mulai redup karena angin yang semakin bertiup kencang. Jo menyuruh Rini untuk masuk tenda dan beristirahat.
((Author pov))
Mereka bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan summit. Mereka menyiapkan sarapan sebelum summit. Seperti biasa, Kang Adi selalu menjadi chef gunung bagi temannya dan team Rini. Team Rini hanya bisa membantu saja. Sebelum melanjutkan perjalanan, mereka makan bersama untuk menambah energi. Seperti biasa, hanya menggunakan kertas nasi dan dicampur menjadi satu mereka makan bersama.
            Tepat jam 3 pagi, mereka berdo’a terlebih dahulu, Kang Adi mengingatkan team Rini untuk lebih berhati-hati karena akan melewati bebatuan dan ketinggian yang sangat curam. Mereka melanjutkan perjalanan untuk sampai ke puncak. Jo selalu setia berjalan dekat Rini, bahkan Jo selalu memabantu Rini untuk terus menanjak. Sesekali mereka beristirahat sejenak lalu melanjutkan.
            Di tengah perjalanan Rini terpeleset, meskipun tidak terlalu parah tetapi membuat kakinya agak susah untuk terus berjalan. Jo menawarkan diri untuk menggendongnya, tetapi ini menolak dan memaksakan diri untuk terus melanjutkan perjalanan menuju puncak. Rini selalu memaksakan diri untuk tetap kuat, tetapi tetap saja membuat Jo begitu sangat khawatir. Jo meraih tangan Rini untuk membantunya, kali ini Rini tidak bias menolak karena kondisi kakinya yang membuatnya butuh pertolongan Jo.
            Pukul 5 pagi, mereka sampai di puncak. Melihat keindahan Sunrise dari atap tertinggi Jawa Barat. Sungguh indah, lautan awan yang menggelayut dan semilir angin berhembus membelai mesra. Semuanya sangat senang dan bersyukur, akhirnya bias sampai pada puncak tertinggi.
((Rini pov))
Aku melangkahkan kaki untuk menikmati pesona alam yang sangat indah, kabut lembut mulai menyelimuti puncak gunung, angin membelai. Tak ada niatan aku untuk berlari dari sini, aku merasakan kenyamanan yang sesuangguhnya. Aku merasakan kenikmatan yang begitu berarti, terasa lebih dekat dengan Tuhan Sang Pencipta alam ini.
Aku memotret pemandangan samudra awan, dan semburat mentari pagi hari. Aku menghembuskan nafasku yang terasa sangat lega. Aku teringat ucapan dari salah seorang teman saya, bahwa mendaki gunung itu berbahaya! harus melewati hutan belantara yang menakutkan. Tapi, hei... Alam ini menenangkan! selama kita bisa menjaga dan tidak merusaknya.
Tiba-tiba Dwi memelukku sangat erat, dia sampai menangis bahagia bias berada disini. Ya, aku pun bisa merasakan bahagianya berada disini. Kami semua berfoto bersama. Jo menawarkanku secangkir kopi yang sudah ia siapkan dalam termos kecil yang dibawanya. Bahkan kopi ini terasa lebih enak dari biasanya, dengan suasana yang menyejukkan membuatku tak berhenti untuk bersyukur.
            Setelah 2 jam berada di puncak, akhirnya kami kembali untuk turun. Untuk sampai di pos tempat bangun tenda, hanya membutuhkan waktu 30 menit. Kami beristirahat sejenak di tenda dan bersiap-bersiap melanjutkan untuk turun. Jo selalu berada di dekatku, ia selalu menjagaku dan mengkhawatirkan keadaanku.
            Di tengah perjalanan, aku tidak bisa lagi menahan rasa sakit luka di kakiku. Jo memaksaku untuk mau digendongnya. Awalnya aku menolak, tetapi keadaan sudah tidak lagi memungkinkan, akhirnya mau digendong olehnya, ia berusaha untuk kuat menggendongku. Tanganku  melingkar di leher Jo sambil tersenyum dan berterimakasih.
            Aku tidak mengerti, mengapa dia begitu baik padaku. Aku tak mau terlihat lemah dihadapan siapapun! tetapi dengan Jo, aku tak bisa. Bersamanya aku merasakan kenyamanan.
Jo…
“hmm…” timpalnya.
“kenapa kamu mau menggendongku?” tanyaku penasaran
“karena aku sayang kamu” jawab Jo sambil terus melanjutkan perjalanan.
Aku hanya terdiam dan tersenyum, lalu menyenderkan kepalaku di punggungnya.
            Setelah sampai di basecamp, kami beristirahat sambil menunggu jemputan datang. Teman-teman yang lain memakan sedikit cemilan yang dibeli di warung depan basecamp. Jo buatkan aku secangkir kopi panas, dan ia sibuk memberi obat merah di kakiku.
Jo…
“hmm..” timpalnya.
“Terimakasih ya” ucapku.
“Buat?” tanyanya singkat.
“Semuanya” jawabku.
Dia melihat ke arahku dan tersenyum.
            Setelah jemputan sudah datang, kami akhirnya menuju perjalanan untuk pulang kerumah masing-masing. Kang Adi dan kawan-kawannya pun berpamitan dan kami mengucapkan terimakasih pada mereka, yang sudah banyak membantu.

Selesai



Tidak ada komentar:

Posting Komentar